Kasus Kekerasan Anak di Jabar Jadi Sorotan, Desakan Pembentukan KPAID Jawa Barat Menguat

BAROMETER JABAR – Pemerintah Provinsi Jawa Barat didesak segera membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Jawa Barat. Desakan ini muncul menyusul masih tingginya kasus kekerasan terhadap anak di provinsi tersebut, yang menjadi perhatian serius berbagai pihak.

Berdasarkan data tahun 2024 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), dari total 2.242 kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat, kekerasan seksual mendominasi dengan 1.231 kasus atau 54,91 persen.

Sementara itu, kekerasan fisik mencapai 20,52 persen, kekerasan psikis 16,87 persen, eksploitasi anak 1,74 persen, perdagangan orang (TPPO) 0,67 persen, dan kasus penelantaran anak sebesar 5,31 persen.

Angka ini menunjukkan tantangan besar bagi pemerintah dan berbagai pihak dalam upaya perlindungan anak dari berbagai bentuk kekerasan.

Inisiator Pembentukan KPAID Jawa Barat, Herry Richardy, menegaskan bahwa pemerintah provinsi harus segera merealisasikan pembentukan lembaga tersebut.

Menurutnya, hal ini sesuai dengan mandat konstitusi yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Undang-Undang (UU), serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang mengatur perlindungan anak.

“Anak-anak adalah masa depan bangsa. Dengan jumlah yang mencapai hampir sepertiga populasi Jabar, sudah seharusnya pemerintah daerah serius membentuk KPAID untuk memastikan hak-hak mereka terlindungi,” ujar Herry, Sabtu (22/2/25).

Ia menambahkan, keberadaan KPAID akan menjadi wadah untuk menangani berbagai persoalan anak, mulai dari kekerasan dan eksploitasi hingga pemenuhan hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

“Pembentukan KPAID Jabar sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),” jelasnya.

Lebih lanjut, Herry menyoroti relevansi SDGs poin ke-16 tentang perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang kuat, serta poin ke-4 tentang pendidikan berkualitas dalam upaya perlindungan anak.

“KPAID akan menjadi institusi yang memperkuat upaya ini,” tambahnya.

Herry juga mengungkapkan, Jawa Barat termasuk provinsi dengan angka kekerasan terhadap anak yang cukup tinggi. Sepanjang tahun 2024 saja, tercatat lebih dari 1.000 kasus kekerasan terhadap anak di wilayah ini.

“Ini adalah alarm bagi kita semua. Tanpa adanya KPAID, penanganan kasus-kasus seperti ini akan sulit terkoordinasi dengan baik,” tegasnya.

Menanggapi hal ini, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Komputer Indonesia (Unikom), Olih Solihin, menekankan pentingnya komunikasi dalam keluarga untuk mendukung perlindungan anak.

“Pembentukan KPAID Jabar harus segera direalisasikan. Namun, upaya perlindungan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah,” kata Olih.

Ia menegaskan, peran keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan juga sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.

“Sinergi antara semua pihak akan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak,” ujarnya.

Menurutnya, keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan anak. Oleh karena itu, orang tua harus memahami tahapan perkembangan anak dan menyesuaikan cara berkomunikasi dengan mereka.

“Komunikasi keluarga adalah kunci. Orang tua harus mampu menciptakan dialog yang efektif dengan anak, memahami kebutuhan emosional dan psikologis mereka,” jelas Olih.

Ia menambahkan, komunikasi yang baik dalam keluarga dapat mencegah berbagai masalah yang kerap dihadapi anak, seperti kenakalan remaja, bullying, bahkan depresi.

“Serta juga memberikan dukungan yang tepat sesuai usia dan perkembangan anak,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *