BAROMETER JABAR – Riyan Setiaputra (30), warga Kota Cimahi, menceritakan pengalaman mengerikan yang dialaminya setelah terjebak dalam pekerjaan ilegal di Myanmar. Riyan awalnya ditawari pekerjaan di Thailand oleh teman dekatnya yang menjanjikan pekerjaan sebagai admin crypto dengan segala biaya ditanggung. Namun, setelah menanyakan legalitas pekerjaan tersebut, temannya meyakinkan bahwa semuanya akan diurus secara legal setelah tiba di Thailand.
“Awalnya saya ditawarin kerja di Thailand sama temen, temen dekat malah. Dia menawarkan kerja di Thailand jadi admin Crypto, lalu saya nanya legalitasnya. Dia jawab legal kalau sudah di sana, semua biaya ditanggung mulai password, visa, dan lainnya diurus travel,” kata Riyan saat ditemui di rumahnya, Kamis (5/12/24).
Setelah mengikuti tawaran tersebut, Riyan berangkat ke Thailand dengan visa turis, meskipun dijanjikan bahwa legalitas pekerjaan akan diurus. Setibanya di Thailand, ia dijemput oleh seseorang yang membawanya ke Mae Sot, Thailand, sebelum akhirnya dibawa menyebrang sungai ke Myanmar tanpa mengetahui tujuannya.
“Setelah nyebrang sungai, saya baru tahu kalau itu adalah perbatasan Thailand dan Myanmar. Saya dibawa ke Myawaddy di Myanmar dan disambut oleh tentara bersenjata,” ujarnya.
“Lalu saya dibawa ke sebuah gedung perusahaan yang ternyata merupakan tempat penipuan. Saya baru tahu di sana saya dijadikan scammer,” sambung Riyan.
Riyan menjelaskan bahwa ia dipaksa bekerja di bawah ancaman dan pengawasan ketat. Selama 20 hari pertama, ia disekap dan diperintahkan untuk mencari orang yang mau bekerja, namun ia tidak mengetahui bagaimana cara melakukannya. Setelah itu, ia dipindahkan ke divisi lain yang lebih fokus pada penipuan melalui media sosial.
“Saya diberi skrip untuk menipu orang dengan mencari klien di Facebook atau aplikasi kencan. Saya berperan sebagai wanita, mencari korban yang punya uang. Kita harus merayu mereka dan dalam tiga hari sudah harus ada uang masuk,” cerita Riyan.
“Korban yang berhasil direkrut diminta bergabung dengan bisnis palsu e-commerce yang menjanjikan keuntungan besar,” tambahnya.
Riyan mengungkapkan bahwa selama sebulan pertama, ia terjebak dalam sistem penipuan ini tanpa bisa keluar. Ketika laporan akhirnya sampai ke pemerintah Indonesia, informasi tersebut dibocorkan oleh seorang mata-mata Indonesia yang ada di lokasi. Akibatnya, Riyan dan rekan-rekannya dipindahkan dan disekap lagi oleh pihak penipu.
“Ketika kami mencoba melapor ke pemerintah, mereka mengancam untuk memeras kami. Mereka minta uang tebusan mulai dari 55 juta hingga 500 juta per orang untuk bisa pulang,” ujar Riyan.
Riyan juga menceritakan pengalamannya yang penuh penderitaan. Selain dibekap, ia dan teman-temannya mengalami penyiksaan fisik.
“Mereka memukul kami dengan bambu kuning, namun di bagian tubuh yang tidak terlihat, seperti punggung atau bagian bawah belakang,” kata Riyan dengan suara pelan, mengenang penyiksaan yang dialaminya.
Pada akhirnya, setelah melalui serangkaian proses identifikasi oleh pemerintah Indonesia dan Kemenlu, Riyan dan 21 orang lainnya, termasuk 10 orang asal Jawa Barat, berhasil dipulangkan ke Indonesia. Riyan yang sempat tidak percaya dengan kondisi tersebut akhirnya merasa sedikit lega meski trauma masih membayangi.
“Saat pertama kali tiba di shelter perlindungan, saya tidak langsung percaya meskipun sudah ada KBRI di sana. Rasanya seperti mimpi buruk yang belum selesai,” ungkap Riyan.
Ia menutup wawancara dengan pesan untuk masyarakat Indonesia agar berhati-hati dalam menerima tawaran pekerjaan, terutama yang datang melalui media sosial.
“Karena terlalu percaya dengan teman dekat, saya ikut pekerjaan itu. Saya tidak tergiur, karena saya juga punya usaha di sini. Saya hanya ingin mencoba pengalaman baru, tapi ternyata saya malah terjebak dalam penipuan ini,” kata Riyan.
Kini, Riyan bertekad untuk lebih berhati-hati dan mengingatkan orang lain untuk tidak terjebak dalam tawaran pekerjaan ilegal yang menjanjikan keuntungan cepat.